Suara gemericik tak lagi
santer terdengar. Tak ada lagi cahaya di situ, semua berubah menjadi
kelabu. Tak ada lagi kudapati senyuman yang dahulu kian merona.
Melukiskan semua cerita di sorenya hari. Hanya kelabu. Hanya itu yang
kudapati di kolong langit. Tapi, ada satu yang berbeda. Kujumpai pelangi
(seperti) di ujung kolong langit itu. Aku melongoh. Apa kabar engkau
yang kutitipkan pada pohon berjajar beriringan di senja pucat ini?
Masihkah akan kudapati senyum singgah di bibirmu? Yang tampak berbeda
dengan langit kelabu yang tak menampakan senyuman indahnya dikala senja
datang. Ku harap kau masih bisa memberikan itu kepadaku. Tak banyak
waktu. Senja akan segera berlalu walau ia hanya memberikan pucat kelabu.
Senja tak peduli. Waktu mengutuknya. Hingga saat waktu senja habis,
senja masih saja pucat.
Hujan kembali turun. Membuatku terkurung tak bisa melenggak kesana kemari. Sungguh menyebalkan. Hujan tak kalah hebat dari datangnya senja. Hujan mampu bertahan dengan mulusnya hingga malam menjelang. Membuatku berontak tak ingin menunggunya pergi. Kuterobos dibilik semua hujan yang kian berirama saja. Lagi-lagi teringat. Sedang apa kau ditengah bumi yang didera hujan turun? Apakah kau hanya mematung beku tak tahu akan pergi kemana? Hmmm, pertanyaanku hanya terbesit dalam hati. Tak kudapati jawaban.
Sadarku. Aku sedang memutar kaset masa lalu itu. Bersamanya tak berarti lagi. Cukup! Kuhentikan putaran kaset yang semakin menggelayut di jiwaku. Ternyata, aku memutar kaset itu di tengah bumi yang juga sedang bersedih tak berarah dan tak berwaktu. Ini adalah persetanan waktu. Rentetan audio di memori otakku semakin tak terdengar. Terputus tepat saat hilangnya Senja. Namun, hujan masih saja betah membuat kelabu di kolong langit, hingga menjelang malam. Aku berhasil keluar dari persetanan waktu ini.
Lekaslah kolong langit tersenyum seperti dikala kau merona
Tak lagi kudapati kau bersorak setuju
Akan kaset masa lalu yang terputar barusan
Sudah cukup
Itu hanya sebagai selingan saat senja kelabu datang
Di persetanan waktu
Hujan kembali turun. Membuatku terkurung tak bisa melenggak kesana kemari. Sungguh menyebalkan. Hujan tak kalah hebat dari datangnya senja. Hujan mampu bertahan dengan mulusnya hingga malam menjelang. Membuatku berontak tak ingin menunggunya pergi. Kuterobos dibilik semua hujan yang kian berirama saja. Lagi-lagi teringat. Sedang apa kau ditengah bumi yang didera hujan turun? Apakah kau hanya mematung beku tak tahu akan pergi kemana? Hmmm, pertanyaanku hanya terbesit dalam hati. Tak kudapati jawaban.
Sadarku. Aku sedang memutar kaset masa lalu itu. Bersamanya tak berarti lagi. Cukup! Kuhentikan putaran kaset yang semakin menggelayut di jiwaku. Ternyata, aku memutar kaset itu di tengah bumi yang juga sedang bersedih tak berarah dan tak berwaktu. Ini adalah persetanan waktu. Rentetan audio di memori otakku semakin tak terdengar. Terputus tepat saat hilangnya Senja. Namun, hujan masih saja betah membuat kelabu di kolong langit, hingga menjelang malam. Aku berhasil keluar dari persetanan waktu ini.
Lekaslah kolong langit tersenyum seperti dikala kau merona
Tak lagi kudapati kau bersorak setuju
Akan kaset masa lalu yang terputar barusan
Sudah cukup
Itu hanya sebagai selingan saat senja kelabu datang
Di persetanan waktu
No comments:
Post a Comment